Kecerdasan Buatan: Perjalanan (Sejauh Ini)

Artificial intelligence is one of the most profound things we’re working on as humanity. It’s more profound than fire or electricity”
— Sundar Pichal (CEO of Alphabet) on CBS’s 60 Minutes

Kecerdasan Buatan
Photo by Markus Winkler on Unsplash

Siapa sangka, ketika dulu kita masih kecil menonton film fiksi ilmiah seperti “Terminator” dan “The Matrix,” kini kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan kita. Dari asisten virtual di ponsel pintar hingga sistem rekomendasi di platform streaming, AI semakin memainkan peran penting dalam kehidupan sehari-hari. Artikel ini akan membahas sejarah kecerdasan buatan, perkembangannya, tokoh-tokoh penting di balik teknologi ini, perbedaan antara Artificial Intelligence (AI) dan Artificial General Intelligence (AGI), hingga dampak dan perdebatan etika yang menyertainya. Let’s get to it!


Timeline Perkembangan Kecerdasan Buatan

Tokoh Penting dalam Sejarah AI

Beberapa tokoh yang berkontribusi pada perkembangan AI meliputi:

  • Alan Turing: Dikenal sebagai “Bapak Komputer,” Turing mengembangkan konsep mesin Turing dan menjadi pionir dalam teori komputasi. Dia juga membahas kemungkinan mesin yang dapat berpikir dalam makalahnya yang terkenal, “Computing Machinery and Intelligence” (1950).
  • John McCarthy: Salah satu pendiri AI, McCarthy menciptakan istilah “artificial intelligence” pada Konferensi Dartmouth tahun 1956. Dia juga mengembangkan bahasa pemrograman LISP, yang banyak digunakan dalam penelitian AI.
  • Marvin Minsky: Sebagai salah satu pendiri AI, Minsky mendirikan Laboratorium AI di MIT dan membuat banyak kontribusi penting dalam bidang AI, termasuk pengembangan jaringan saraf tiruan dan pemikiran tentang representasi pengetahuan.
  • Geoffrey Hinton: Hinton merupakan tokoh penting dalam pengembangan deep learning dan jaringan saraf tiruan. Dia menciptakan istilah “deep learning” dan berkontribusi pada pengembangan algoritma backpropagation, yang telah menjadi dasar untuk pelatihan jaringan saraf tiruan.

Artificial Intelligence (AI) vs Artificial General Intelligence (AGI)

image : created by Midjourney, prompted by Gemawan W

Gambar diatas dihasilkan oleh AI Generatif, Midjourney.com dengan command prompt sebagai berikut :

luminous wired electrical brain on laboratorium pedestal, crowded computer servers background, realistic — v 5

Kecerdasan buatan (AI) dan kecerdasan buatan umum (AGI) adalah dua konsep yang sering disebut bersamaan tetapi memiliki perbedaan mendasar. AI merujuk pada sistem yang dirancang untuk menyelesaikan tugas spesifik dengan efisien, seperti pengenalan suara, rekomendasi produk, atau analisis data. AI yang ada saat ini umumnya dianggap sebagai AI sempit (narrow AI) karena fokus pada satu tugas atau sekelompok tugas yang terkait.

Sebaliknya, AGI, juga dikenal sebagai AI yang kuat (strong AI), merupakan konsep di mana sistem AI memiliki kemampuan kognitif yang setara atau melebihi manusia dalam berbagai bidang. AGI dapat memahami, belajar, dan beradaptasi secara mandiri untuk menangani berbagai tugas dan masalah yang mungkin tidak pernah dihadapi sebelumnya.

Salah satu perbedaan utama antara AI dan AGI adalah tingkat fleksibilitas dan kemampuan mereka untuk beradaptasi. AI saat ini umumnya dirancang untuk tugas spesifik dan memerlukan pelatihan ulang atau modifikasi untuk menangani tugas yang berbeda. Sementara itu, AGI akan dapat beralih di antara berbagai tugas dan bidang pengetahuan tanpa bantuan manusia.

Referensi literatur, seperti buku “Superintelligence” karya Nick Bostrom, menggambarkan AGI sebagai titik di mana AI akan mencapai tingkat kecerdasan yang jauh melampaui kemampuan manusia. Bostrom berpendapat bahwa pencapaian AGI dapat memiliki konsekuensi yang signifikan bagi umat manusia, baik positif maupun negatif, tergantung pada bagaimana kita mengelola perkembangan dan penerapannya.

Sementara AI saat ini telah mencapai banyak pencapaian yang mengesankan, AGI masih jauh dari kenyataan. Para ilmuwan dan peneliti terus bekerja untuk memahami bagaimana meningkatkan kecerdasan buatan dan mengatasi tantangan yang ada dalam mencapai AGI. Diskusi tentang AI vs AGI membantu kita memahami potensi dan batasan teknologi ini serta merumuskan strategi untuk mengarahkan perkembangannya ke arah yang menguntungkan bagi semua pihak.

Untuk memahami perbedaan antara AI (Kecerdasan Buatan) dan AGI (Kecerdasan Buatan Umum), kita bisa menggunakan analogi dunia kopi.

AI, dalam konteks ini, dapat diibaratkan sebagai mesin pembuat kopi otomatis yang dirancang untuk membuat berbagai jenis kopi, seperti espresso, cappuccino, atau latte. Mesin ini telah diprogram untuk mengekstraksi rasa yang optimal dari biji kopi dan menghasilkan minuman kopi yang lezat secara konsisten. Namun, mesin ini hanya memiliki keahlian dalam membuat kopi dan tidak bisa melakukan tugas lain, seperti membuat teh atau makanan.

Di sisi lain, AGI dapat dianggap sebagai barista manusia yang sangat terampil, yang tidak hanya mampu membuat berbagai jenis kopi tetapi juga memahami seluk-beluk dunia kopi secara keseluruhan. Barista ini mampu menyesuaikan diri dengan kebutuhan pelanggan, bereksperimen dengan resep baru, dan bahkan beralih ke tugas lain di luar pembuatan kopi, seperti membuat teh, menciptakan hidangan penutup, atau mengelola bisnis kafe secara keseluruhan.

Perbedaan utama antara AI dan AGI dalam analogi ini adalah tingkat keahlian dan kemampuan adaptasi. AI, seperti mesin pembuat kopi, sangat efisien dan efektif dalam menyelesaikan tugas spesifik yang telah diprogram untuk dilakukan. Namun, AI tidak memiliki fleksibilitas untuk beralih ke tugas atau bidang yang berbeda tanpa pelatihan atau modifikasi tambahan. Sementara itu, AGI, seperti barista terampil, memiliki pemahaman yang lebih dalam dan kemampuan untuk beradaptasi, belajar, dan menguasai berbagai tugas dan bidang pengetahuan.



Aplikasi AI di Indonesia

Di Indonesia, kecerdasan buatan telah mulai diadopsi di berbagai sektor, baik oleh perusahaan swasta maupun pemerintah. Berikut adalah beberapa contoh aplikasi AI di Indonesia:

  • Kata.ai (formerly YesBoss) : Kata.ai merupakan perusahaan teknologi lokal yang mengembangkan chatbot dan asisten virtual berbasis AI. Kata.ai telah bekerja sama dengan beberapa perusahaan besar di Indonesia, seperti Telkomsel dan Bank BRI, untuk menyediakan layanan pelanggan otomatis dan efisien.
  • Nodeflux: Nodeflux adalah perusahaan startup Indonesia yang fokus pada pengembangan teknologi pengenalan wajah berbasis AI. Teknologi Nodeflux telah digunakan dalam sistem pengawasan keamanan dan identifikasi pelanggan di sektor perbankan.
  • Dattabot: Dattabot adalah perusahaan analisis data dan AI yang membantu perusahaan mengolah dan menganalisis data bisnis mereka. Dattabot menggunakan teknologi AI untuk menghasilkan wawasan yang membantu perusahaan dalam pengambilan keputusan.
  • Qlue: Qlue merupakan platform pelaporan dan pengelolaan keluhan warga yang menggunakan AI untuk mengidentifikasi dan mengelompokkan masalah yang dilaporkan. Qlue telah bekerja sama dengan pemerintah DKI Jakarta dalam upaya meningkatkan pelayanan publik.
  • Proyek AI oleh pemerintah: Pemerintah Indonesia juga mulai mengadopsi AI dalam berbagai proyek, seperti penggunaan teknologi AI untuk mengoptimalkan sistem manajemen lalu lintas, serta penggunaan AI dalam penanganan bencana alam dan mitigasi perubahan iklim.

Aplikasi AI dalam Mengatasi Masalah Global

AI telah digunakan untuk mengatasi masalah global seperti perubahan iklim, kesehatan, dan ketahanan pangan:

  • Perubahan iklim: AI digunakan untuk pemantauan hutan guna mencegah deforestasi, analisis pola cuaca untuk peringatan dini bencana, dan optimasi sistem energi terbarukan.
  • Kesehatan: Teknologi AI telah diaplikasikan dalam pengembangan obat melalui analisis genetik, diagnosis penyakit berbasis citra medis, dan perencanaan pengobatan yang efisien.
  • Ketahanan pangan: AI digunakan untuk meningkatkan efisiensi sistem irigasi, memprediksi hasil panen, dan mengoptimalkan rantai pasokan pangan.

Dampak AI pada Ekonomi dan Lapangan Kerja

AI telah mempengaruhi ekonomi dan menciptakan lapangan kerja baru, namun juga dapat menggantikan pekerjaan yang ada. Masyarakat perlu beradaptasi dengan perubahan ini dan mengembangkan keterampilan yang diperlukan untuk bekerja di era AI. Pendidikan dan pelatihan berbasis STEM (Sains, Teknologi, Rekayasa, dan Matematika) menjadi semakin penting untuk mempersiapkan tenaga kerja masa depan.

Tantangan dan Batasan AI saat ini

Meskipun AI telah berkembang pesat dan menawarkan banyak manfaat, masih ada beberapa tantangan dan batasan yang dihadapi dalam pengembangan dan implementasinya:

  1. Pemahaman konteks dan nuansa bahasa: AI seringkali kesulitan memahami konteks dan nuansa bahasa, terutama dalam pengenalan teks dan suara. Ini mengakibatkan kesalahan dalam interpretasi makna, yang dapat menyebabkan masalah komunikasi dan keputusan yang salah.
  2. Kekurangan data berkualitas: AI bergantung pada data yang banyak dan berkualitas untuk melatih model yang akurat. Namun, data yang tidak lengkap, tidak relevan, atau bias dapat mengakibatkan model AI yang salah atau diskriminatif.
  3. Ketergantungan pada energi: Pelatihan model AI, khususnya dalam deep learning, membutuhkan sumber daya komputasi yang besar dan mengonsumsi banyak energi. Ini menjadi tantangan bagi keberlanjutan lingkungan dan ekonomi dalam pengembangan AI.
  4. Keamanan dan privasi: AI dapat digunakan untuk mengakses dan menggali informasi pribadi, yang menimbulkan masalah keamanan dan privasi bagi individu dan organisasi. Hal ini menuntut pengembangan teknologi keamanan dan privasi yang lebih canggih serta regulasi yang lebih ketat.
  5. Transparansi dan akuntabilitas: Model AI sering kali dianggap sebagai “kotak hitam” karena sulit untuk menjelaskan bagaimana mereka membuat keputusan. Kurangnya transparansi ini menimbulkan masalah dalam akuntabilitas dan kepercayaan publik terhadap AI.
  6. Ketidakadilan dan bias: AI dapat memperkuat ketidakadilan dan bias yang ada dalam masyarakat jika tidak dikembangkan dan diterapkan dengan hati-hati. Pengembang AI harus memastikan bahwa sistem mereka bebas dari bias dan tidak mendiskriminasikan kelompok tertentu.
  7. Integrasi AI dalam masyarakat: Mengintegrasikan AI ke dalam masyarakat, baik dalam pekerjaan atau kehidupan sehari-hari, memerlukan perubahan dalam cara individu berpikir dan bekerja. Pendidikan dan pelatihan yang tepat perlu disediakan untuk membantu masyarakat beradaptasi dengan teknologi baru ini.
image : retrieved from Stanford University : Human-Centered Artificial Intelligence

Mengatasi tantangan dan batasan ini akan memungkinkan AI untuk berkembang lebih jauh dan memberikan manfaat yang lebih besar bagi masyarakat dan dunia secara keseluruhan.


Regulasi dan Kebijakan Pemerintah terkait AI

Law One — “A robot may not injure a human being or, through inaction, allow a human being to come to harm.”

Law Two — “A robot must obey orders given to it by human beings except where such orders would conflict with the First Law.”

Law Three — “A robot must protect its own existence, as long as such protection does not conflict with the First or Second Law.”

— Three Laws of Robotics, Isaac Asimov

Sebelum kita membahas regulasi dan kebijakan yang berkaitan dengan AI di dunia dan Indonesia, penting untuk melihat kembali bagaimana konsep etika dan regulasi AI pertama kali diperkenalkan melalui karya fiksi. Isaac Asimov, seorang penulis fiksi ilmiah terkenal, mengajukan “Three Laws of Robotics” atau “Tiga Hukum Robotika” dalam cerita pendeknya pada tahun 1942. Tiga hukum tersebut menjadi dasar bagi banyak diskusi mengenai etika dan regulasi AI.

Berikut ini adalah beberapa regulasi dan kebijakan penting terkait AI baik di tingkat global maupun di Indonesia.

Regulasi Dunia:

  1. Regulasi Uni Eropa tentang AI / Artificial Intelligence ACT (AIA) : Uni Eropa sedang menggodok peraturan baru yang akan mengatur penggunaan AI. Regulasi ini akan mencakup isu-isu seperti keamanan data, transparansi algoritma, dan akuntabilitas perusahaan. Uni Eropa juga telah merilis Panduan Etika untuk Kecerdasan Buatan yang berisi prinsip-prinsip dasar bagi pengembangan dan penerapan AI secara etis.
  2. Inisiatif Global Partnership on Artificial Intelligence (GPAI): Inisiatif ini didukung oleh OECD dan G7, serta melibatkan beberapa negara lain seperti Australia, India, dan Singapura. GPAI bertujuan untuk memastikan bahwa AI dikembangkan dan digunakan secara bertanggung jawab, menghormati nilai-nilai demokratis, dan mendorong kerjasama internasional dalam penelitian AI.

Regulasi di Indonesia:

  1. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik : Peraturan ini mencakup aspek keamanan data dan privasi pengguna dalam sistem elektronik, termasuk yang berkaitan dengan AI. Meskipun peraturan ini belum secara eksplisit menyebut AI, aspek-aspek yang diatur dalam peraturan ini relevan bagi pengembangan dan penerapan AI di Indonesia.
  2. Strategi Nasional Kecerdasan Buatan 2020–2045: Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Riset dan Teknologi (Kemristek) telah merumuskan strategi nasional untuk mengembangkan kecerdasan buatan di Indonesia. Strategi ini mencakup rencana pengembangan sumber daya manusia, inovasi teknologi, dan regulasi yang mendukung pertumbuhan industri AI di Indonesia.
image : retrieved from Stanford University : Human-Centered Artificial Intelligence

Dalam menghadapi perkembangan AI yang semakin pesat, penting bagi pemerintah Indonesia dan pemerintah di seluruh dunia untuk terus memperbarui dan menyempurnakan regulasi dan kebijakan yang ada. Hal ini akan memastikan bahwa AI dapat memberikan manfaat yang optimal bagi masyarakat, sambil meminimalkan risiko dan dampak negatif yang mungkin timbul.


Pandangan Masyarakat terhadap AI

Persepsi masyarakat terhadap AI sangat bervariasi dan dapat mempengaruhi adopsi dan pengembangan AI di masa depan. Berikut adalah beberapa pandangan yang umum:

  • Antusiasme dan optimisme: Banyak orang merasa antusias dan optimis tentang potensi AI untuk meningkatkan kehidupan mereka, baik dalam hal efisiensi, kenyamanan, atau kemajuan ilmiah. Mereka melihat AI sebagai peluang untuk menciptakan dunia yang lebih baik dan lebih cerdas.
  • Kecemasan dan ketakutan: Sebaliknya, ada juga mereka yang merasa cemas dan takut akan dampak negatif AI, seperti hilangnya lapangan kerja, penyalahgunaan teknologi, atau bahkan ancaman terhadap eksistensi manusia. Pandangan ini seringkali didorong oleh skenario dystopian dalam film dan literatur fiksi ilmiah.
  • Skeptisisme dan kritis: Beberapa orang skeptis tentang klaim yang dibuat oleh para pendukung AI dan merasa bahwa teknologi ini mungkin tidak dapat memenuhi harapan yang tinggi. Mereka mengkritik kurangnya transparansi, akuntabilitas, dan potensi bias dalam sistem AI.

Untuk memastikan adopsi dan pengembangan AI yang sukses, penting bagi para pengembang, pemerintah, dan masyarakat luas untuk mengatasi kekhawatiran ini dan bekerja sama dalam menciptakan AI yang etis, adil, dan bermanfaat bagi semua.

Etika dan Pertimbangan Moral dalam AI

Pengembangan dan implementasi AI menimbulkan berbagai pertanyaan etika dan moral yang perlu dipertimbangkan oleh para pengembang, pemerintah, dan masyarakat:

  • Bias dan diskriminasi: Bagaimana kita dapat memastikan bahwa AI tidak mereproduksi atau memperkuat bias dan diskriminasi yang ada dalam masyarakat?
  • Privasi dan keamanan data: Bagaimana kita dapat melindungi privasi individu dan menjaga keamanan data mereka saat menggunakan AI?
  • Transparansi dan akuntabilitas: Bagaimana kita dapat meningkatkan transparansi dalam proses pengambilan keputusan AI dan menegakkan akuntabilitas bagi kesalahan atau penyalahgunaan teknologi ini?
  • Pengendalian dan otonomi: Sejauh mana kita harus memberi AI kontrol atas keputusan dan tindakan, dan bagaimana kita dapat memastikan bahwa otonomi manusia tetap dihormati?
  • Dampak pada pekerjaan: Bagaimana kita dapat memitigasi dampak negatif AI pada lapangan kerja dan memastikan bahwa manfaat teknologi ini didistribusikan secara adil?
  • Tanggung jawab moral: Siapa yang harus bertanggung jawab atas tindakan AI, terutama jika mereka menyebabkan kerugian atau bahaya bagi orang lain?

Menangani pertanyaan-pertanyaan ini akan memastikan bahwa AI dikembangkan dan diterapkan dengan cara yang etis dan bertanggung jawab, serta menghasilkan manfaat bagi masyarakat dan dunia secara keseluruhan.

“The development of full artificial intelligence could spell the end of the human race. It would take off on its own, and redesign itself at an ever-increasing rate. Humans, who are limited by slow biological evolution, couldn’t compete and would be superseded.”

— Stephen Hawking, in a 2014 interview with BBC

Sejarah AI mencakup berbagai pencapaian, tokoh, dan tantangan yang telah membentuk perkembangan teknologi ini sejauh ini. Dari garis waktu perkembangan AI hingga aplikasi di Indonesia dan global, AI terus berubah dan beradaptasi dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat. Tantangan dan batasan yang dihadapi oleh AI, seperti pemahaman konteks, keamanan data, dan transparansi, menuntut solusi yang inovatif dan kolaboratif dari para pengembang, pemerintah, dan masyarakat.

Mengatasi pandangan masyarakat terhadap AI dan pertimbangan etika yang mendasarinya akan sangat penting untuk mengarahkan masa depan AI yang adil, inklusif, dan bermanfaat. Dengan terus belajar dan beradaptasi, kita dapat memastikan bahwa AI akan menjadi kekuatan positif dalam hidup kita dan menciptakan masa depan yang lebih cerah bagi semua.

Untuk mengejar perkembangan AI dan menjadi bagian dari solusi masa depan, penting bagi kita semua untuk terus belajar dan memperdalam pemahaman kita tentang teknologi ini. Pertimbangkan untuk mengikuti kursus online, bergabung dengan komunitas belajar, atau mengejar gelar universitas di bidang terkait dengan kecerdasan buatan. Dengan bersama-sama mempelajari dan menghadapi tantangan AI, kita dapat membentuk masa depan yang lebih baik untuk generasi mendatang.


this article was originally published by me in Medium.com, could be visited here

4 Comments

Add a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Verified by MonsterInsights